Selasa, 01 Maret 2011

Sekilas tentang DUHAM

Dominicus Suseno
10/299750/SP/24207

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang dimiliki manusia sejak lahir. Sebelum tahun 1948, kesadaran HAM lebih bersifat regional dan peraturan-peraturan tertulis tidak secara eksplisit memuatnya (seperti ajaran agama). Baru pada 10 Desember 1948, HAM menjadi salah satu dari hukum internasional dengan kodifikasi dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) melalui resolusi 217 A (III) oleh Majelis Umum PBB. Banyaknya korban dalam Perang Dunia II dan perlunya kekuatan hukum untuk mencegah pelanggaran terhadap hak-hak individu oleh negara dimasa datang agaknya menjadi impetus dalam pencetusan DUHAM ini.

DUHAM mencakup banyak sisi dari HAM, termasuk didalamnya hak-hak sosial-politik dan ekonomi- budaya. Dalam pasal 1 hingga pasal 5 secara tegas disebutkan hak-hak dasar yang menyangkut keberadaan sebagai manusia, seperti; kemerdekaan, kesamaan martabat tanpa adanya diskriminasi, dilarangnya perbudakan, dan hak untuk mengembangkan diri. Keadilan hukum juga disebutkan sebagai salah satu dari HAM dalam pasal 6 hingga pasal 11, baik secara prosedural maupun substansial. Hak-hak sosial secara eksplisit dijamin dalam pasal 12 mengenai hak privasi individu, atau dalam pasal 22 mengenai jaminan sosial. Rekreasi, pekerjaan yang layak, dan pendidikan dasar pun juga disebutkan di DUHAM ini. Hak-hak politik, mencakup kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa paksaan dan larangan, berpartisipasi aktif maupun pasif dalam penyelenggaraan pemerintahan, serta hak atas kewarganegaraan secara eksplisit disebutkan dan diatur. DUHAM juga mengatur hak-hak budaya, seperti menikah tanpa pembedaan agama.

Sebagai salah satu Negara yang meratifikasi DUHAM ini, otomatis menunjukkan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menegakkan HAM. UU No. 39 tahun 1999 yang mengatur tentang HAM adalah bukti nyatanya. Walaupun demikian, tidak dapat diasumsikan bahwa sebelum tahun 1999, Indonesia tidak mengangkat HAM menjadi fokus Negara. Nilai-nilai HAM, walaupun tidak secara eksplisit, tercantum dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 (mengesampingkan isi amandemen yang kedua tentang Bab XA tentang HAM). Walaupun demikian, bukan berarti isi DUHAM praktis menjadi alat hukum di Negara kita. Negara kita menganut teori dualistik, artinya hukum internasional dalam kedudukannya terhadap hukum nasional dapat dipertimbangkan dan disesuaikan sehingga tidak saling bertentangan. Poin mengenai pernikahan beda agama dalam DUHAM, agaknya tidak pas ketika diterapkan di Negara Indonesia.

Terlepas dari semua itu ,ada sebuah ironi yang muncul ketika berbicara mengenai sejarah HAM dan bagaimana penegakannya di era modern ini. Jika memang kesadaran tentang ‘kebebasan dan hak-hak individu’ dalam sejarah HAM sudah muncul di Eropa pada abad ke 17, mengapa pada saat era kolonalisme, bangsa-bangsa tersebut gagal menerapkannya (dan bahkan melanggar) di negara yang didudukinya? Penegakan HAM yang ideal pun dan sesuai dengan konsensus dalam DUHAM agaknya juga masih ‘jauh panggang dari api’. Esensi utama dari HAM adalah memandang ‘semua manusia memiliki hak yang sama’, yang berarti ‘atribut’ individual harus dikesampingkan. Faktanya, tidak hanya negara berkembang saja yang masih kesulitan dengan menegakkan konsepsi ideal ini, negara maju pun memiliki codet dalam hal yang sama. Bagaimana diskriminasi yang dialami suku Aborigin di Australia misalnya, atau kasus imigran di Perancis, adalah contoh dari sekian banyak yang menunjukkan bahwa dimensi personal dalam HAM seringkali berbenturan dengan dimensi negara dan bagaimana isu ras menjadi sensitif. Di negara dengan kepemimpinan bukan demokrasi , totaliter pada khususnya, iklim penegakkan HAM tidak efektif berlaku disana, karena sekali lagi, dimensi negara lebih diutamakan ketika berbenturan dengan dimensi personal.

Di tahun 2011 ini, DUHAM akan mencapai usianya yang ke 63 tahun. Semoga HAM dalam perjalanannya bisa menempati tempatnya yang hakiki, terbebas dari ranah politis dan diskriminasi perbedaan. 

1 komentar: